Skip to main content

Sebuah Tulisan untuk Mama

Tulisan ini gue dedikasikan untuk almarhumah mama, yang tutup usia tanggal 29 Oktober 2017. Dulu mama pernah minta gue nulis buku tentang kisah dia melawan penyakitnya, tapi waktu itu gue nggak meng-iya-kan karena dalam hati, daripada gue, mungkin mama bisa menulis sendiri nanti pas udah sembuh, tapi takdir berkata lain. Alhasil, gue menulis kisah pendek mama di sini. Semoga mama suka ya...


Ibu gue (gue manggil ibu gue 'mama', sih, hehe), lahir di Jakarta, 27 Desember 1970. Ia merupakan anak ketiga dari enam bersaudara, dan lahir di keluarga yang biasa-biasa aja, bahkan bisa dibilang kekurangan. Gue inget ibu gue suka cerita kalau dulu ia suka bantu kakek gue jualan bakso keliling. Dan tiap hari pasti makan bakso sampai bosan.

Sewaktu kecil, ibu gue itu anaknya paling nggak bisa diem. Dulu, ibu gue cerita kalau dia jadi ketua geng anak-anak gang setempat. Kalau hari Minggu, suka jalan-jalan ke Monas naik sepeda. Kalau disuruh ngaji, dia sama kakak-adiknya pada kabur dan ngumpet--ujung-ujungnya malah kena pukul kakek gue pake sapu lidi. Senangnya main di kuburan. Mungkin dulu di tempat ibu gue tinggal, satu-satunya tempat yang lapang dan enak dipakai buat main adalah komplek pemakaman itu.

Ibu gue cuma bisa menyelesaikan pendidikannya sampai tingkat SMA. Setelah lulus, ibu gue langsung cari kerja. Gue inget dia pernah cerita kalau dulu dia pernah bekerja sebagai karyawati toko buku. Sampai akhirnya, dia dan kakak perempuannya mendaftar jadi pramugari, dan ibu gue-lah yang diterima. Enak banget, ibu gue jadi pramugari maskapai yang melayani pergi haji dan umroh. Di usia yang begitu muda, dia udah pergi haji secara gratis. Tapi, gue yakin itu semua merupakan hasil jerih payahnya yang luar biasa. Setelahnya, ibu gue mendaftar jadi anggota TNI AU dan lulus. Gue nggak ngerti lagi sama ibu gue. Padahal badannya tergolong yang paling kecil dibanding teman-teman se-angkatannya, tapi semangatnya sebesar itu. Kalau dipikir-pikir lagi, ibu gue bahkan nggak berasal dari keluarga tentara ataupun punya 'orang dalem' yang bisa bantu dia buat lulus. Dia lulus dan menghadapi semua tantangan yang berat itu berkat usahanya sendiri. Ibu gue sekeren itu.

Ibu gue juga pintar dan jago banget masak. Semua masakan, dari masakan lokal sampai eastern-western, kue-kuean, sushi, udah dicoba semua. Sampai teman gue kalau mau pinjam alat masak, pasti ke gue karena ibu gue punya peralatan masak yang lengkap banget. Bahkan, dulu ibu gue sempat ngide mau buka semacam cafe gitu setelah pensiun. Seandainya kesampaian beneran, gue yakin pasti makanannya bakal laku berat, hehe. Kalau nggak lagi ngantor, pasti sukanya di dapur bikin kue atau masak makanan-makanan. Tiap weekend pasti kerjaannya masak kue. Beda banget sama gue yang demen banget diem di depan laptop. Seandainya dulu gue lebih sering bantu ibu gue di dapur, pasti sekarang gue udah jago masak juga. Tapi, ibu gue kayaknya nggak suka kalau gue bantu dia masak. Malah berantakin, katanya, hihi.

Karena emang dasarnya ibu gue nggak bisa diem, pasti ada aja deh yang dilakuin kalau di rumah. Entah masak, entah beres-beres, eh, tau-tau ngide geser-geser lemari atau perabotan karena katanya udah bosen sama tata letaknya. Ibu gue juga rajin nge-whatsapp gue, 'kak gi apa?', sama ngirim jarkoman-jarkoman islami. Diam-diam, dia juga suka bikin tulisan-tulisan tentang gue sama adik gue. Sampai sekarang file-nya masih ada di laptop gue, bikin gue senyum aja bacanya. Oh, iya, ibu gue juga senang banget jalan-jalan, sama kayak gue. Waktu itu gue sama ibu gue pernah jalan-jalan aja tuh berdua ke Yogyakarta dan ke Gunung Bromo. Asik deh kalau jalan-jalan bareng, soalnya ibu gue udah merencanakan semuanya dengan apik. Gue iri deh dia udah pergi ke Lombok sama teman-temannya. Sayang, kami berdua nggak sempat merealisasikan rencana jalan-jalan ke sana berdua...

Seperti ibu-ibu pada umumnya, Ibu gue kadang rese, galak, keras kepala, suka nyuruh gue ganti baju kalau menurut dia pakaiannya nggak bagus. Tapi, gue pengen kayak ibu gue. Ibu gue tegas, tapi baik, ramah, dan supel. Kalau foto, senyumnya paling sumringah. Rajin juga menyapa tetangga dan teman-temannya. Bahkan pernah dia senyumin orang di jalan, dan pas gue tanya orang itu siapa, ibu gue bilang dia nggak kenal, haha. Kalau lagi ada permasalahan di keluarga besar, ibu gue pasti yang paling diandalkan. Dia nggak segan-segan mengutarakan pendapatnya, dan gue rasa semua anggota keluarga gue respect sama dia.

Tahun 2015, ibu gue didiagnosis terkena tumor payudara. Akhirnya dilakukanlah operasi pengangkatan tumor, dan tumor itu berhasil diangkat. Tapi, ibu gue ternyata nggak sepenuhnya sembuh. Ibu gue pun memutuskan mencoba pengobatan alternatif. Dia membeli semacam jaket terapi yang katanya bisa mengecilkan tumor atau apalah. Dipakailah jaket itu secara rutin. Nyatanya, jaket itu nggak memberi dampak apa-apa terhadap penyakit ibu gue. Ibu gue pun mencoba banyak pengobatan alternatif lain, seperti merebus dedaunan yang punya khasiat-khasiat tertentu, ke pengobatan tradisional yang jaraknya jauh banget dari rumah, dan banyak lainnya. Tapi, semuanya gagal. Penyakit ibu gue malah semakin parah.

Akhirnya, ibu gue memutuskan untuk berobat ke RS Dharmais, dan barulah ketahuan kalau tumor ibu gue itu sudah berkembang menjadi kanker stadium 2. Di saat itu, hati gue hancur, tapi gue berusaha tetap positive thinking kalau ibu gue pasti bisa sembuh. Untung rumah sakitnya masih bisa terjangkau, jadi kami bisa rutin berobat dan cek ke sana. Di sana juga, gue dan ibu gue banyak mendengar cerita pasien yang berhasil sembuh dari kanker. Gue yakin ibu gue pasti sembuh, karena ibu gue rutin check up dan minum obat. Ibu gue semangat banget buat berobat. Masih stadium 2. Belum terlambat, kan?

Tapi, ternyata Allah berkehendak lain. Kesehatan ibu gue semakin menurun. Ibu gue mulai mengeluh sakit kepala dan penglihatannya berkurang. Gue nggak pernah melihat ibu gue sampai menahan sakit separah itu. Usut punya usut, ternyata sel kankernya udah menyebar ke tulang belakang ibu gue, dan kemungkinan besar sudah menyebar ke otak. Ibu gue yang dulu aktif banget kesana kemari, waktu itu cuma bisa telentang di kasur menahan sakit yang teramat sangat di kepalanya. Kemana-mana pun musti dipapah, dan kalau check-up harus memakai kursi roda karena tulang belakangnya udah serapuh itu. Obat yang harus dikonsumsi ibu gue pun semakin bertambah. Gue nggak kebayang berapa biaya dan besarnya tenaga yang udah dikeluarkan selama pengobatan, tapi ibu gue sangat bertekad untuk sembuh. Bahkan di tengah itu semua, ibu gue sempat-sempatnya pergi ngantor beberapa kali. Sudah dibilangin juga berkali-kali kalau lagi sakit mending istirahat, tapi memang dasarnya ibu gue keras kepala. Semangatnya nggak pernah luntur.

Entah karena pengaruh obat-obatan yang ia konsumsi atau karena sel kanker yang semakin menyebar, sakit kepala ibu gue semakin parah sampai-sampai dia sering mengalami demam tinggi dan harus dirawat inap di rumah sakit angkatan udara (ruspau) yang letaknya di komplek rumah gue. Cukup lama ibu gue harus dirawat. Saat itu, gue masih kuliah, jadi ayah gue yang berjaga di rumah sakit, dan gue cuma bisa ketemu ibu gue pas berangkat dan pulang kuliah. Gue selalu bertanya kapan ibu gue pulang, jawabannya selalu 'minggu depan', tapi ibu gue nggak pernah pulang.

Setelah dirawat di ruspau, ibu gue langsung pindah rawat inap di Dharmais--semakin menjauh dari gue. Saat gue jenguk dia, kondisinya lemah banget. Jauh berbeda dari sosok ibu yang gue kenal. Gue nggak habis pikir betapa cepatnya sel kanker itu menggerogoti dan merusak tubuhnya. Hanya dalam kurun waktu 2 tahun, ibu gue udah nggak bisa menggerakkan tubuh, bahkan mulutnya hingga sulit berbicara. Kira-kira 2 minggu gue belum sempat lagi menjenguk ke rumah sakit, hingga pada saat itu, gue ditelpon oleh ayah gue untuk segera pergi ke Dharmais.

Ternyata kondisi ibu gue semakin parah oleh batuk berdahak yang mengganggu sistem pernapasannya. Saat gue datang, ibu gue sudah hampir hilang kesadarannya. Betapa hancurnya hati gue melihat kondisi ibu gue yang seperti itu. Nggak henti-hentinya gue membaca surat yaasin di samping adik gue. Air mata nggak henti-hentinya mengalir. Adik gue, yang biasanya kuat, nggak kuasa menahan tangisnya. Dan di saat itu, ibu gue dengan tenaganya yang tersisa, berusaha berkata sambil mengelus pipi adek gue, "Jangan nangis." Gue udah nggak bisa apa-apa lagi selain berdoa yang terbaik untuk ibu gue. Di satu sisi, gue berdoa dan berharap supaya Allah memberikan keajaiban supaya ibu gue disembuhkan dari penyakitnya, tapi di sisi lain gue berdoa suatu doa yang dengan sangat berat hati gue panjatkan, dan Allah kabulkan doa gue yang terakhir itu.

Selamat jalan, Ma. Mama sudah bertarung melawan penyakit mama dengan sekuat tenaga, dan kini sudah waktunya mama beristirahat. You are the kindest, noblest, strongest person I know, and I know that's the reason why God took you early. I can't express how much you mean to me, but I hope you know I love you and that you'll forever be my aspiration as well as inspiration. Happy birthday, ma.

Comments

Popular posts from this blog

Oral Test LIA

I'm back again! Huff... Akhirnya gue udah boleh tenang dan santai, karena... gue udah ngejalanin semua tes kenaikan level LIA!! Yuhuuuuuu~ Hari ini gue oral test. Lebih tepatnya make-up oral test. Kayak semacem tes susulan gitu soalnya waktu oral test hari Kamis kemaren gue nggak bisa ikut karena hujan. Seperti final test, ada 2 HAL PENTING yang harus dibawa, yaitu KUITANSI PEMBAYARAN dan KARTU PELAJAR. Tapi, kalo make-up test, harus bawa 1 hal lagi, yaitu KERTAS PEMBAYARAN MAKE-UP ORAL TEST.  *kertas pembayaran make-up oral test

Suikoden 3

Hello, bubblers! Pada hari ini gue pengen membahas salah satu game PlayStation 2 favorit gue. Suikoden 3! Klasifikasi: Pengembang : Konami Penerbit : Konami Sistem operasi : Playstation 2 Tanggal liris : -Jepang : 11 Juli 2002 -Amerika Utara : 11 Oktober 2002 Kategori permainan : role-playing game (RPG) Mode permainan : single player Batas umur pemain : ESRB T (Teen) Media : 1 DVD-ROM Alat permainan : Stik PS